Artikel Agroindustri & Kajian Lainnya
Bahaya Minyak Goreng dan Cara Mengatasinya dengan Spiner
Analisis Finansial Usaha Online
Katalog Pelatihan Teknologi Pengolahan Pangan
Studi Penguatan Kapasitas Klaster UKM
Studi Kelayakan Pendirian Industri Gelatin
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit
Pelatihan Tahu
Survey Kebutuhan Traktor
Profil Usaha Saus Cabai dan Tomat
Studi Kelayakan Industri Gelatin
Peluang Investasi Produk Berbahan baku Karet
Bagaimana Menulis Proposal Bisnis/Usaha
Studi Kelayakan Usaha / Feasibility Study
Membuat Analisis Finansial
Analisis Finansial Industri Gelatin
Analisis Finansial Bimbingan Belajar
Proposal Perumahan
Festival Anak-Festival Daur Ulang Plastik
Pendidikan Alternatif bagi Pemulung
Sekolah Motivasi Anak
Wahana Haji dan Dunia Islam
Pembuatan Sekolah
Analisis Usaha Penyewaan Tenda
Analisis Finansial Usaha Online
Katalog Pelatihan Teknologi Pengolahan Pangan
Studi Penguatan Kapasitas Klaster UKM
Studi Kelayakan Pendirian Industri Gelatin
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit
Pelatihan Tahu
Survey Kebutuhan Traktor
Profil Usaha Saus Cabai dan Tomat
Studi Kelayakan Industri Gelatin
Peluang Investasi Produk Berbahan baku Karet
Bagaimana Menulis Proposal Bisnis/Usaha
Studi Kelayakan Usaha / Feasibility Study
Membuat Analisis Finansial
Analisis Finansial Industri Gelatin
Analisis Finansial Bimbingan Belajar
Proposal Perumahan
Festival Anak-Festival Daur Ulang Plastik
Pendidikan Alternatif bagi Pemulung
Sekolah Motivasi Anak
Wahana Haji dan Dunia Islam
Pembuatan Sekolah
Analisis Usaha Penyewaan Tenda
Selasa, 11 Mei 2010
Pelatihan Tahu
A.GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)
GMP adalah suatu pedoman cara produksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi sesuai tuntutan konsumen. Dasar hukum GMP adalah KepMenKes No. 23/Menkes/SK/I/1978 tanggal 24 Januari 1978.
Komponen GMP meliputi:
1. Pengadaan bahan baku
2. Desain dan fasilitas (tempat usaha)
3. Higiene karyawan/pekerja
4. Pemeliharaan sarana pengolahan
5. Pengendalian hama
6. Pengendalian proses
7. Penyimpanan
8. Kemasan/labelling
9. Pengangkutan
10. Laboratorium
B. BAHAN TAMBAHAN PANGAN
Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, yang ditambahkan untuk mempengaruhi bentuk dan sifat bahan pangan (mempengaruhi karakteristik).
Tujuan bahan tambahan pangan adalah 1) mengawetkan makanan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu, 2) Membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak dimulut , 3) Memberi warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera, 4) Meningkatkan kualitas pangan dan 5) Menghemat biaya.
Bahan tambahan pangan dapat digolongkan menjadi pewarna, pemanis buatan, pengawet, anti oksidan, antikempal, penyedap dan penguat rasa serta aroma, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap dan pengental, pengeras dan sequestran.
Menurut Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88 bahan tambahan yang berbahaya meliputi asam borat, asam salisilat, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, nitrofurazon dan formain.
C. STANDAR PRODUKSI TAHU
Proses pembuatan tahu dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu (1) pembuatan susu kedelai dan (2) koagulasi atau penggumpalan protein susu kedelai sehingga dihasilkan curd yang kemudian dipres dan dicetak menjadi tahu (Shurtleft dan Aoyagi, 1979. Berikut tahapan proses pembuatan tahu.
1. Pencucian dan Perendaman
Kedelai dicuci berulang kali dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan debu dan kotoran dari kacang kedelai. Proses selanjutnya dilakukan perendaman yang bertujuan untuk melunakkan struktur selulernya sehingga mempermudah dan mempercepat penggilingan. Biasanya kedelai direndam dalam air sebanyak 3 kali beratnya sampai bobotnya menjadi sckitar 2,2 kali bobot kedelai kering. Lama perendaman kedelai antara 8-12 jam (Shurtleft dan Aoyagi, 1979).
2.Penggilingan
Kedelai yang telah bersih dan ditiriskan lalu digiling dengan disertai penambahan air kira-kira 1-1,5 kali berat kedelai basah (berat setelah direndam). Tujuan penggilingan adalah untuk memperkecil ukuran partikel sehingga dapat mengurangi waktu pemasakan dan memberikan fasilitas untuk melakukan ekstraksi susu kedelai (Shurtleft dan Aoyagi, 1979).
3.Pemasakan
Kedelai yang telah digiling kemudian dimasak. Menurut Shurtleft dan Aoyagi (1979), pemasakan ini dimaksudkan unluk menginaktifasi trypsin inhibitor, meningkatkan nilai gizi dan kualitas kedelai, mengurangi rasa mentah dan beany pada susu kedelai, menambah keawetan produk akhir, dan merubah sifat protein kacang kedelai sehingga mudah dikoagulasikan. Pemasakan dilakukan pada suhu 100oC selama 10-15 menit (Sarwono dan Saragih, 2004). Pada saat pemasakan bubur kedelai ditambahkan air untuk memperoleh rendemen yang baik. Penggunaan jumlah air dalam pemasakan perlu diperhatikan, dimana air yang terlalu sedikit akan menyebabkan sari kedElai yang terekstrak juga sedikit, sedangkan air yang terlalu banyak akan membuat energi dan waktu untuk ekstraksi sari kedelai semakin besar. Perbandingan berat kedelai kering dan air yang baik adalah sebesar 1:10 (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Selama proses pemasakan dilakukan pengadukan secara kontinyu untuk mencegah terjadinya kegosongan.
4.Penyaringan dan ekstraksi susu kedelai
Bubur kedelai disaring dengan penyaring yang umum digunakan oleh pengusaha tahu, yaitu penyaring kain blacu berwarna putih. Hasil penyaringan ini adalah ekstrak susu kedelai, sedangkan ampas akan tertinggal dalam kain penyaring. Untuk mendapatkan sari kedelai yang lebih banyak, ampas dapat dicuci kemudian disaring kembali.
5.Penggumpalan
Setelah penyaringan adalah pengendapan susu kedelai dengan menambahkan penggumpal. Proses penggumpalan protein susu kedelai ini merupakan tahapan yang paling menentukan sifat fisik dan organoleptik tahu yakni jenis dan jumlah bahan penggumpal serta suhu susu kedelai pada saat penggumpalan (Shurtleff dan Aoyagi, 1975). Penggumpalan dilakukan pada saat suhu susu kedelai berkisar 70-90°C. (Sarwono dan Saragih, 2004).
Ada berbagai jenis penggumpal yang biasa digunakan dalam pembuatan tahu. Perbedaan penggumpal akan menghasilkan tahu dengan jenis dan karakteristik yang berbeda. Sebagai contoh, dalam pembuatan tahu putih di Indonesia, pengrajin tahu lebih banyak menggunakan air tahu (whey) yang telah didiamkan semalam sebagai penggumpal. Sedangkan untuk pembuatan tahu sutra, biasa digunakan GDL (Glucone Delta Lactone) sebagai penggumpal (Sarwono dan Saragih, 2004). Selama proses penggumpalan perlu pengadukan secara perlahan-lahan dengan arah yang tetap Pengadukan dihentikan jika sudah terbentuk gumpalan.
6.Pemisahan Whey
Setelah gumpalan (curd) terbentuk dilakukan pengendapan hingga gumpalan turun ke bawah. Pengendapan ini bertujuan untuk mempermudah pemisahan cairan dengan curd. Cairan (whey) kemudian dipisahkan dari endapan agar proses pencetakan dapat dilakukan dengan mudah dan tahu yang dihasilkan mempunyai konsistensi yang lebih baik (Sarwono dan Saragih, 2004).
7.Pencetakan dan Pengepresan
Gumpalan yang terbentuk selanjutnya dicetak. dengan memasukkannya ke dalam cetakan yang telah dialasi kain blacu berwarna putih, lalu bagian atas juga ditutup dengan kain serupa dan papan. Diatas papan selanjutnya diletakkan pemberat hingga air tahu menetes habis dan terbentuklah tahu cetak.
D. PRAKTIKUM PENGAWETAN TAHU
1.Bahan Praktikum
Bahan praktikum terdiri dari tahu dan bahan pengawet. Tahu yang digunakan adalah tahu yang dibeli dari produsen di Bogor dan tahu yang diproduksi oleh peserta. Bahan pengawet yang digunakan yaitu kalium sorbat, asam benzoate, parabens atau nipagin dan asam asetat.
a.Kalium Sorbat
Asam sorbat merupakan padatan putih, berbentuk kristal dan berbau agak asam. Menurut Desrosier (1988), asam sorbat termasuk golongan asam lemak rantai panjang yang tidak jenuh yang efektif sebagai agensia fungistatis (menghambat pertumbuhan jamur). Secara komersil asam sorbat tersedia dalam bentuk garamnya termasuk kalsium, natrium dan kalium sorbat.
Jumlah kebutuhan asam sorbat untuk pengawetan suatu produk tergantung dari beberapa faktor termasuk komposisi produk, jumlah kontaminasi awal, pengemas atau suhu penyimpanan. Sebagai pengawet berbasis asam, asam sorbat dan kalium sorbat lebih baik digunakan dibawah pH 5-6. Kalium sorbat efektif hingga pH 6,5 tetapi efektifitasnya meningkat dengan menurunnya pH (Sofos dan Busta, 1993).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988, kalium sorbat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum 3 g/kg. Sedangkan pada produk keju, margarin, acar ketimun dalam botol, jam dan jeli serta pekatan sari nenas batas maksimum penggunaannya sebesar 1 g/kg.
Sorbat dapat menyebabkan iritasi kulit pada beberapa orang yang sensitif dengan konsentrasi sekitar 1% dan beberapa yang sangat sensitif mengalami iritasi pada konsentrasi lebih rendah (Sofos dan Busta, 1993). Mengingat rata-rata penggunaan sorbat pada proses pangan adalah 0,1-0,3%, potensi iritasi karena adanya sorbat pada produk komersil sangat kecil (Davidson dan Branen, 1993).
b.Asam Benzoate
Asam benzoat merupakan padatan berupa kristal putih yang umum digunakan sebagai antimikroba. Asam benzoat terbentuk secara alami pada kranberri (Desrosier, 1988), cengkeh dan kayu manis (Winarno, 1997). Asam benzoat dan garam-garamnya dan derivat-derivatnya adalah suatu kelompok zat pengawet kimia yang sudah digunakan secara luas dan sering digunakan pada makanan yang asam (Winarno, 1997).
Asam benzoat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri daripada kapang dan pada konsentrasi diatas 25 mg/liter asam yang tidak terurai akan menghambat pertumbuhan kapang (Buckle et al., 1987). Benzoat efektif pada pH 2,5-4,0 (Winarno, 1997). Asam benzoat banyak beredar dalam bentuk garam-garamnya seperti natrium benzoat, kalium benzoat dan amonium benzoat. Garam natrium dan amonium benzoat dapat digunakan, akan tetapi molekul-molekul asam benzoat itu sendiri yang mempunyai sifat yang mematikan.
Sebagai pengawet pada makanan, ada beberapa keuntungan penggunaan asam benzoat yaitu tidak berwarna dan mudah larut dalam produk. Asam benzoat harus digunakan dengan konsentrasi serendah mungkin untuk menghindari kemungkinan terjadi penyimpangan flavor (off-flavor) pada produk. Kadar penggunaan asam benzoat yang diijinkan adalah 0,1 g/kg untuk makanan lain selain kecap, minuman ringan, acar ketimun dalam botol, margarin, padatan sari nanas, dan saus tomat (Departemen Kesehatan RI, 1988). Sedangkan menurut SNI (1995), untuk makanan yang disebutkan diatas dan makanan lain batas penggunaan maksimum adalah 1 g/kg.
Asam benzoat memiliki bahaya kcracunan yang rendah karena dalam tubuh manusia sudah ada mekanisme detoksifikasi benzoat. Asam benzoat akan berkonjugasi dengan glisin didalam ginjal membentuk asam hipurat yang kemudian diekskresikan melalui urin (Davidson dan Juneja, 1990). Konsumsi asam benzoat berlebih akan menyebabkan ginjal menjadi asam karena adanya penumpukan asam hipurat (Chipley, 1993).
c.Parabens
Paraben bersifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, relatif tidak higroskopis dan bukan komponen volatile. Paraben biasa dipasarkan dalam bubuk putih (Davidson dan Juneja, 1990). Salah satu bentuk paraben yang banyak dijual adalah metal paraben atau nipagin.
Penggunaan paraben sebagai bahan makanan diperbolehkan dengan batas maksimal penambahan 0,1 %. Menurut Depkes RI (1988), metil paraben yang diijinkan adalah 0.1g/kg kadar penggunaan metil paraben yang diijinkan adalah 0.1 g/kg untuk kecap, minuman ringan, acar ketimun dalam botol, margarin, padatan sari nanas, dan saus tomat. Paraben memiliki bahaya keracunan yang rendah. Paraben dengan cepat dapat dihidrolisis di hati dan ginjal menjadi asam p-hidoksihipurat kemudian diekskresikan melalui urin (Davidson dan Juneja, 1990). Konsumsi paraben berlebih akan menyebabkan penumpukan asam p-hidoksihipurat di hati dan ginjal sehingga kondisinya menjadi asam (Davidson, 1993).
d.Asam asetat
Asam asetat (CH3COOH) merupakan asam organik monokarbonik, memiliki bau dan rasa tajam, bersifat sangat mudah larut dalam air. Asam asetat aman digunakan sebagai bahan pengawet produk makanan dan tidak ada batasan maksimal yang boleh dikonsumsi oleh manusia. Doores (1993) melaporkan bahwa efektifitas asam asetat antara pH 4 sanipai 6. Asam asetat merupakan kelompok asam lemah. Meskipun demikian, asam ini memiliki kemampuan untuk meracuni mikroba.
2.Peralatan
Peralatan praktikum meliputi timbangan analitik, baskom, panci, kompor, wadah dan plastik
3.Metodologi
Praktikum dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap pertama dilakukan oleh tenaga ahli menggunakan tahu dari produsen di Bogor dan tahap kedua dilakukan oleh peserta menggunakan tahu produksi masing-masing.
Cara pengawetan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.Perendaman dalam larutan kalium sorbat
Mula-mula rebus air sampai mendidih dan buat larutan kalium sorbat 1000 ppm (1 gr/ liter air) dengan air tersebut. Tahu dicuci dengan air matang dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Lalu masukkan larutan kalium sorbat di atas sampai semua tahu terendam dan ditutup rapat menggunakan siller. Dengan cara ini tahu dapat disimpan pada suhu kamar dengan daya awet 3-4 hari.
b.Perendaman dalam larutan Asam Benzoate
Mula-mula rebus air sampai mendidih dan buat larutan Asam Benzoate/ Natrium Benzoate 1000 ppm (1 gr/ liter air) dengan air tersebut. Tahu dicuci dengan air matang dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Lalu masukkan Asam Benzoate di atas sampai semua tahu terendam dan ditutup rapat menggunakan siller. Dengan cara ini tahu dapat disimpan pada suhu kamar dengan daya awet 3-4 hari
c.Perendaman dalam Asam Asetat 3%
Buat larutan Asam asetat 3%. Tahu dicuci dengan air matang dan dimasukkan ke dalam larutan asam selama 1 menit. Lalu tiriskan dan masukkan ke dalam kemasan plastik dan ditutup rapat menggunakan siller. Dengan cara ini tahu dapat disimpan pada suhu kamar dengan daya awet 3-4 hari.
4.Hasil Praktikum
Hasil praktikum tahap pertama menunjukkan tahu yang sudah diberi asam benzoate 1 ppm dan disimpan dalam plastik selama enam hari menunjukkan warna, aroma, tekstur dan rasa yang mirip dengan tahu yang baru diproduksi. Seluruh peserta pelatihan diberi kesempatan mencoba tahu yang telah diberi pengawet. Kesimpulan dari para peserta adalah asam benzoate merupakan pengawet yang lebih cocok terhadap produk tahu dibandingkan kalium sorbet, paraben dan asam asetat.
Selanjutnya, setiap peserta melakukan praktek pengawetan produk tahu terhadap produk tahu yang dibawanya. Peserta juga melakukan pengawetan produk dengan kondisi sesuai proses produksi masing-masing. Dari laporan para peserta, rata-rata produk tahu dapat bertahan 2-3 hari dengan penambahan bahan pengawet asam benzoate dengan kadar 1 gram/liter air.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Agroindustri
Kemasan Cerdas dengan Sensor Kebusukan Fillet Ikan. Mahasiswa bernama lengkap Yogi Waldingga Hasnedi berhasil membuat kemasan cerdas pendeteksi kebusukan fillet ikan. Ia memulai penelitiannya karena melihat bahwa penilaian kesegaran ikan yang dilakukan masyarakat sampai saat ini masih menggunakan indra dengan faktor yang diamati berupa penampakan (diamati pada mata, kulit, dan insang), tekstur, bau, dan warna. Sejalan dengan kemajuan teknik kemasan, berbagai penilaian tingkat kesegaran ikan saat ini telah mengarah pada produk kemasan yang terintegrasi antara nilai kemasan tersebut dengan tingkat kesegaran ikan itu sendiri...Selengkapnya
Terima kasih artikelnya, sangat bermanfaat
BalasHapusMohon ijin copas..
Silakan. Moga bermanfaat
BalasHapusBagaimana cara mengawetkan sari susu kedelai.mohon bantuannya gan.
BalasHapusTerimakasih sebelumnya